Selasa, 08 Maret 2011

Perkembangan Software Indonesia

Dibandingkan dahulu, dewasa ini banyak produk Software Indonesia yang telah fokus menyelesaikan satu masalah. Yang biasanya Software House Indonesia mengerjakan beberapa proyek atau beberapa masalah, kini mulai fokus pada satu permasalahan. Hal ini merupakan titik awal perkembangan yang baik di dunia Teknologi Informatika. Programmer Indonesia kini lebih kreatif dalam mengembangkan dan menghasilkan Software unggulan. Terbukti dengan munculnya beberapa anti virus buatan lokal yang mulai digunakan masyarakat.

Ada beberapa orang kini yang belum percaya pada software buatan lokal, padahal apabila semua orang di Indonesia menggunakan jasa Software House Indonesia, akan sangat mendukung sekali untuk perkembangan produk Software buatan Indonesia. Banyak Software House Indonesia yang akhirnya gulung tikar karena jarangnya proyek, cenderung orang lebih suka menggunakan produk-produk asing.

Kelemahan perkembangan Software buatan Indonesia dikarenakan tidak adanya keterbukaan antara programmer satu dengan programmer yang lain. Kebanyakan produknya dilindungi dan tidak bersifat open source. Padahal apabila dibuat open source pasti cenderung akan lebih cepat berkembang, dikarenakan yang mengembangkan menjadi lebih banyak orang, seperti sifatnya open source (terbuka sumbernya) jadi orang lain dapat mengembangkanya. Tidak usah khawatir tentang keterbukaan, karena orang kreatif tidak bakalan kehilangan ide, pasti akan muncul ide-ide lain, dan itu akan memunculkan inovasi baru. Dan janganlah memonopoli suatu produk tertentu, karena perkembanganya akan sulit. Biarkanlah ide kita dikembangkan oleh orang lain, dan orang lain mengembangkanya lagi, sehingga tercipta suatu estafet yang menghasilkan produk yang lebih unggul, dan bermanfaat bagi orang banyak terutama untuk Indonesia tercinta.
Berita Sejenis

Trend perkembangan software

Kalau bicara soal trend, tidak bisa di ramalkan. Peramalan trend dipenuhi dengan kesukaran. Dengan mengabaikan sikap hati – hati, sejak lima kepemimpinan di negeri ini. Dalam pengembangan software menawarkan apa yang mereka harapkan belum menjadi trend perkembangan Software Development di Negara ini. Banyak alasan, mulai dari regulasi yang mengekang produk production house (khususnya para programmer), ketidak tegasan pemerintah dalam memotivasi para komunitas IT dan pembangunan infrastruktur yang belum siap.
Dua tema memotong ke seberang bidang-bidang yang memanfaatkan sumber luar akan terus memberikan efek ke lebih banyak lagi orang, dan tester, manajer proyek dan analisa bisnis akan perlu mempelajari bagaimana cara menghadapi tantangan dari penyalur (distribusi). Juga, perkembangan yang cepat akan bertambah populer, sementara percobaan dan kebutuhan rancang bangun akan perlu menemukan tempat mereka di lingkungan tersebut.
Read/WriteWeb membuat sebuah artikel menarik yang berjudul “The Future of Software Development“. Pada artikel tersebut dibahas bagaimana pengembangan perangkat lunak di masa depan dengan sedikit meninjau kembali metode software development yakni waterfall dan agile. Rasanya seperti kuliah RPL lagi. Kesimpulan yang diambil pada tulisan tersebut adalah pengembangan perangkat lunak di masa depan akan menggunakan bahasa pemrograman high level, dukungan library, dan metode agile.
Untungnya, berbeda dengan kuliah Rekayasa Perangkat Lunak (Software Engineering) yang dosennya Pak Romi Satrio Wahono, kali ini saya nggak ngantuk.
Sepertinya, apa yang ada di tulisan tersebut mulai saya rasakan di lingkungan sekitar.
Mengenai pemilihan bahasa pemrograman high level, menurut saya banyak benarnya. Mengambil contoh diri sendiri, saat ini saya lebih tertarik ‘bergaul’ dengan Java (mata kuliah Object Oriented Programming, kebetulan yang ngajar Pak Romi juga). Sepanjang mata memandang, teman-teman saya sepertinya juga begitu. Pemrograman high level itu rasanya seperti memakai fasilitas mewah.
Kalau ditarik lebih luas lagi, saya melihat ada kecenderungan kurangnya peminat untuk mempelajari hal-hal yang low level pada saya kuliah S1. Kuliah Pemrograman Sistem, Jaringan Komputer, Sistem Operasi, Organisasi dan Arsitektur Komputer jadi momok. Saya nggak tahu apakah ada ‘faktor lain’. Tapi yang jelas, salah seorang dosen di kampus saya pernah mengeluhkan hal itu di kelas. Apa hal ini disebabkan oleh perkembangan zaman atau karena mahasiswa sekarang malas-malas? Mungkin ini menjadi sesuatu yang harus disayangkan. Tapi apa perlu? Saya suka bertanya-tanya sendiri. Emang perlu ya mendalami semua itu? Kalau berpikir secara ideal sih, pasti perlu. Setiap ilmu pasti ada manfaatnya.
Kembali ke topik awal, bagaimana dengan library yang udah banyak tersedia? Menurut saya itu bener banget. Mengambil contoh diri sendiri lagi, kemarin saya baru aja minta kode sebuah aplikasi bikinan temen saya, buat suatu bagian di program buat tugas akhir. Saya berpikir, daripada bikin sendiri, mending pakai yang udah ada. Contoh lain, saat tulisan ini dibuat, teman saya yang lain, juga menemukan framework yang bakal ngurangin sebagian besar kerjaannya. Hal-hal seperti ini sering terjadi. Sepertinya segalanya udah ada diciptakan, tinggal bagaimana kita membuat kolaborasinya dan nambah-nambahin sedikit.
Terakhir, terkait agile, saya gak terlalu banyak komentar. Agile erat kaitannya dengan iterasi. Saya belum pernah merasakan iterasi yang bener-bener iterasi, tapi mengenai requirement yang terus berubah saya beneran pernah ngerasain. Dari situ saya kenal refactoring. Senang rasanya melihat fitur itu kepasang di sejumlah tools.
Metode pengembangan perangkat lunak Agile ini mungkin cocok diterapkan di Indonesia karena kegesitannya, iteratif dan mampu beradaptasi dengan perubahan yang sering terjadi pada proyek perangkat lunak. Bukankan karakteristik perangkat lunak di Indonesia cenderung berubah, mulai dari proyeknya sampai kebutuhan user? (Proyek perangkat lunak memang menyebalkan, karena user atau customer dapat melakukan perubahan requirement
Trend Software Open Source
Pemerintahan di seluruh dunia saat ini sedang tertular demam open source, sebuah software yang mengijinkan mereka untuk melihat dan memodifikasi source codenya, tidak seperti proprietary software seperti yang dibuat oleh Microsoft. Namun pertanyaanya apakah trend global ini akan terus berlanjut? Jawabannya tergantung pada beberapa faktor yang merintangi penyebaran gerakan open source ini.
Salah satu rintangannya adalah awal pengembangan teknologinya yang lebih banyak berorientasi pada server dari pada aplikasi desktop, selain itu adanya oposisi yang dilakukan oleh Microsoft (perusahaan software yang paling dominan di dunia) yang menempatkannya sebagai perusahaan yang paling terpukul jika pemerintahan beramai-ramai beralih ke produk open source.
Saat ini produk open source yang paling terkenal adalah Linux yang mana pada acara LinuxWord baru-baru ini di California terus-menerus mempromiskan Linux dan terus melakukan pengembangsan produk. Dan makin banyak pembuat software yang mempatenkan idenya sebagai software open source dan membuat persaingan makin seru.
Beberapa tahun belakangan, “U.N. World Summit on the Information Society” (WSIS) menjadi event yang paling diperhatikan oleh negara-negara berkembang. Dari deklarasi WSIS terlihat tawaran-tawaran solusi software open source untuk negara-negara berkembang. Dan isunya sudah mencapai ke agenda pemerintahan multilateral yang mana sebagian besar memiliki persepsi yang sama bahwa software open source lebih murah dan lebih mudah daripada produk proprietary.
Hal tersebut juga diperhatikan oleh “Organization for Economic Cooperation and Development”, yang menganjurkan penggunaan teknologi open source dalam petunjuk cyber-security-nya. Selain itu “World Intellectual Property Organization” berencana mengadakan pertemuan untuk membicarakan hal yang sama tahun depan. Sedangkan pada pertemuan “Asia Pacific Economic Cooperation” (APEC) di Thailand, Amerika mendorong pemerintahan agar tidak ikut campur dan menyerahkan pilihan pada pasar apakah mau menggunakan software open source atau proprietry.
Meskipun muncul persaingan menghadapi software open source ini, industri teknologi Amerika mengakui secara signifikan adanya evolusi dibidang industri ini. Pemain-pemain besar seperti IBM, Intel dan Oracle, telah mengakomodasi open source dalam produk dan service-nya. Asosiasi industri amerika (”U.S. industry trade associations”) makin serius membahas tentang propriety dan open source ini.
Posisi pemerintah Amerika terhadap open source juga mencerminkan adanya perpecahan dalam industri dan sudah menjadi pandangan Amerika bahwa dalam pertarungan internasional, hukum seharusnya tidak menentukan teknologi mana yang seharusnya digunakan, apakah itu open source atau propriety. Menurut mereka pemerintahan seharusnya netral dalam investasi. Mereka juga menambahkan bahwa US tidak menghalangi gerakan open source namun memberikan keduanya (baik software open source maupun proprietary) kesempatan yang sama dan silakan anda pilih mana yang lebih baik, lebih cepat dan lebih cost effective. Dan sepertinya banyak industri dan pemerintahan yang setuju akan hal tersebut.
Pemerintahan diseluruh penjuru dunia saat ini sedang beramai-ramai mengadopsi produk open source, namun usaha untuk membuat peraturan yang mengunggulkan penerapan open source banyak yang digagalkan.
Uni Eropa dan banyak negara di Eropa termasuk Austria, Belgia, Bulgaria, Denmark, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Itali, Belanda, Portugal, Spanyol, Swedia, Switzerland, Ukraina dan Ingris telah memperlihatkan dukungannya kepada open source, sebagai contoh pemerintahan Spanyol yang secara resmi mengadopsi software open source dan memutuskan serta meminta agar departemen-departemen pemerintahan tertentu untuk menggunakan free software, keputusanya diimplemantisakan di musim semi 2003.
Sedangkan “Department of Communications, Information Technology and the Arts” Australia baru-baru ini menyatakan bahwa pemerintah tidak membutuhkan hukum dan guideline dalam pemakaian software karena sudah menjadi kewajibannya untuk mempertimbangkan segala opsi dan memilih mana yang pantas. Dan mereka mengatakan usulan “Australian Unix Users Group” (AUUG) mengenai “open source procurement guidelines” (yang kalo diterapkan implikasinya manaruh hati pada open source) dianggapnya tidak perlu. Sedangkan Darren Sommers, dari “Herbert Geer and Rundle Lawyers”, menyatakan proposal AUUG hanyalah guidelines dan tetap membutuhkan dukungan legislasi untuk membuatnya memiliki kekuatan.
Di Asia, pemerintah korea bersama-sama dengan jepang dan china juga sedang mempertimbangkan pemakaian open source dalam penelitian dan usaha pengembangan, bahkan china sendiri telah mengadopsi open source. Menurut “Gartner Australia”, yang paling tertarik dalam penggunaan Linux di kawasan Asia Pacific adalah Australia, Jepang, China dan Korea. Dan momentum ini datang dari pihak pemerintah bukan dari enterprise. Berbeda dengan Singapore yang tidak mempertimbangakn penggunaan Linux secara meluas di pemerintahan seperti yang dinyatakan oleh “Infocomm-Development Authority (IDA) of Singapore” (pembuat peraturan dibagian indistri teknologi). Dan menurut “Gartner Australia” Singapore memang lebih dekat ke Microsoft dan perusahaan tradisonal pengembang software komersial lainnya. Namun IDA sekarang telah memasukkan Linux sebagai opsi untuk tender dan kontrak pemerintah. Sedangkan di Malaysia, perdana menteri Mahathir Mohamad tertarik terhada software open source dan menganjurkan pelayan sipil untuk mengadopsinya.
Industri Amerika memperhatikan perkembangan internasional ini dan tidak segan berkomunikasi secara langsung bila sudah menyangkut peraturan, legislasi, dan kebijakan pemerintah. “Association for Competitive Technology”, yang mana Microsoft menjadi anggotanya, telah mempertanyakan “peraturan yang menentukan pemilihan teknologi” apakah melanggar hukum WTO. Dan “Initiative for Software Choice (ISC)”, koalisi yang dioperasikan oleh “Computer and Telecommunications Industry Association (CompTIA)” yang juga ada Microsoft dalam daftar anggotanya, terus mengamati perkembangan “open source legislative”.
Baru-baru ini, asosiasi perdagangan open source yang bernama “Open Source and Industry Alliance”, dibentuk di Washington sebagai serangan balik terhadap manuver-manuver Microsoft. Dan mereka menekankan bahwa isu sebenarnya adalah mengenai Linux. Apa yang Microsoft inginkan adalah mengalahkan Linux dan menciptakan keraguan akan penjualan dan pendistribusian Linux.
Namun sebenarnya kunci pengadopsian produk open source juga terletak pada sikap pemerintahan dalam membuat keputusan. Namun dunia industri kelihatannya selalu berebut opini bahwa menilai keunggulan software harus fair dan pemerintah seharusnya memilih produk yang paling sesuai dengan kebutuhannya tidak berdasarkan pada emosional.
Di Brasil, sejak Luiz Inacio Lula da Silva dari partai buruh menjabat presiden mulai januari 2003 lalu, dukungan pemerintah terhadap open source makin kuat. Dan baru-baru ini disana diadakan “Legislative Free Software Week” yang berlangsung dari 18-22 Agustus 2003 yang diadakan oleh “Federal Senate”. Dalam event tersebut terlihat bahwa pemerintahan Brasil tidak hanya berlarut-larut dalam diskusi mengenai penggunaan free software namun mengambil langkah-langkah nyata dalam penerapannya untuk pemerintahan. Bahkan anggota kongres dari partai buruh, Walter Pinheiro, menyatakan bahwa “kongres akan menunjukkan bahwa pembeli software terbesar, yaitu pemerintah, menggunakan free software dan ini mungkin akan menjadi contoh yang baik bagi yang lain”. Dan Pinheiro juga mengatakan bahwa “House of Representatives” tidak akan memperbaharui Microsof office nya yang senilah US $1.3 juta dan sedang mempelajari alternatif free software“nya, dan selanjutnya akan mengganti sistem email-nya dengan produk free sosftware.
Sedangkan di Amerika tidak ada hukum mengenai open source yang dapat dijadikan model oleh industri, namun pihak CompTIA lebih menyukai hukum di New Zealand, yang pada initinya menjelaskan bahwa dalam membeli software harus berdasarkan cost, fungsi, security, dan kemampuannya dalam bekerja dengan sistem lain.
Dibulan april 2003, “Center of Open Source and Government” yang berada di “George Washington University”, menyatakan bahwa kecurigaan yang dibangun industri software proprietary hanya berusaha agar pemerintahan tidak membuat hukum yang mempertimbangkan open source. Dan pihak “Center of Open Source and Government” setuju dengan pernyataan eksplisit pemerintah Afrika Selatan yang melegitimasi open source dan memerintahkan lembaga-lembaga pemerintah untuk memimpin program open source. Selain itu mereka juga menyetujui pernyataan Afrika Selatan bahwa beberapa ketetapan yang menguatkan open source dibutuhkan sampai open source memiliki kekuatan kompetitif yang sama dengan software proprietry, dan mendukung pengakuan Afrika Selatan bahwa produk opensource memiliki keuntungan sosial dan sekaranglah waktu untuk mengadopsinya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar